GUW0GUzoGSOpGSr0TUz9GfY0Gi==

Headline:

Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia



        Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis (Depdikbud, 1995:9). Kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan pendekatan dalam pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak. Untuk itu, dalam kurikulum pendidikan dasar 1994 rambu-rambu pembelajaran bahasa dianjurkan agar dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan sastra Indonesia dapat dipadukan atau dikaitkan dengan mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, dan matematika (Depdikbud, 1995:12).
       Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa dilandasi pandangan bahasa holistic (whole language) yang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang bulat dan utuh. Pada hakikatnya whole language merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak belajar secara optimal (Akhadiah, 1994:10). Selanjutnya Weaver menyatakan bahwa whole language pada dasarnya merupakan falsafah pandangan atau keyakinan tentang hakikat belajar dan bagaimana anak dapat belajar secara optimal. Sistem landasan keterpaduan dalam pembelajaran bahasa menyatakan bahwa belajar bahasa akan lebih mudah terjadi jika bahasa itu disajikan secara holistic nyata, relevan, bermakna, serta fungsional, jika bahasa itu disajikan dalam konteks pembicaraan dan dipilih siswa untuk digunakan.
Bahasa hanya merupakan bahasa jika merupakan keseluruhan. Sedangkan Yeager (1991:1) menyatakan bahwa pembelajaran bahasa secara terpadu menaruh penghargaan terhadap bahasa dan dengan seksama meningkatkan penguasaan bahasa siswa. Selanjutnya Eisele menyatakan bahwa pada hakikatnya whole language itu bukan sesuatu apa/berbeda, dan ini bukan sebuah perangkat materi/bahan dan bukan sebuah resep untuk sukses.
          Whole language adalah suatu cara berpikir tentang bagaimana anak belajar bahasa-bahasa lisan dan bahasa tulisan (Eisele, 1991:3). Anak itu secara alamiah memperoleh bahasa lisan melalui mendengarkan (menyimak) dan berbicara. Selama tahun-tahun perkembangan ini, kesempurnaan itu diharapkan; anak-anak itu bebas berbuat kekeliruan. Orang dewasa mengerti dan menerima sebab mereka menyadari bahwa belajar itu perlu waktu dan latihan. Bagaimanapun ketika anak memulai membaca dan menulis, cepat berhasil itu sering diharapkan. Berkaitan dengan bahasa lisan, anak-anak perlu banyak latihan membaca dan menulis melalui pengalaman-pengalaman yang bermakna. Mereka juga perlu kebebasan untuk berbuat keliru dan belajar dari kekeliruan mereka itu. Oleh karena para guru whole language mengetahui bagaimana belajar bahasa, mereka memberikan waktu dan kesempatan belajar praktik untuk perkembangan baca-tulis.
Tidak ada sebuah resep untuk program whole language, tetapi kelas ini untuk memadukan beberapa holis saja. Para siswa di dalam kelas whole language akan melakukan (1) berkembang melalui tahap-tahap sesuai dengan perkembangan, (2) dilibatkan di dalam interaksi sosial sepanjang hari, (3) berbagai tanggungjawab untuk belajar mereka, (4) merasa senang mencoba dan praktik baca dan tulis tanpa takut kritikan, (5) mengevaluasi kemajuan mereka sebagai bagian alami dari semua pengalaman belajar.
Guru di dalam kelas whole language akan melakukan (1) memandang para siswa sebagai berkemampuan, (2) menjadi pengamat dan turut serta belajar saat mereka berinteraksi dengan para siswa, (3) mendemonstrasikan dan memberikan model bacaan dan tulisan, (4) berperan sebagai fasilitator untuk murid belajar, dan (5)  olist kepada siswa kekhususan, umpan balik yang positif.
Pembelajaran di dalam kelas whole language adalah :
a.    Mengajarkan membaca dan menulis melalui pengalaman bacaan dan tulisan autentik,
b.    berasumsi isi dan proses belajar adalah sama pentingnya,
c.    mengimplementasikan aktivitas kelas yang dipusatkan kepada para siswa dan yang bermakna,
d.    merangkumkan pemaduan proses bahasa dengan melintasi bidang-bidang isi (mata pelajaran),
e.    memberikan bacaan berkualitas untuk membantu perkembangan literasi,
f.    tujuan itu sebagai alat pemberdayaan siswa melalui kepemilikan dan pemilihan.
Eisele juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan positif dan menarik pada murid dan guru sebagai hasil dari penggunaan filosofi whole language. Perubahan-perubahan itu meliputi:
a.    siswa di dalam kelas whole language untuk belajar. Kegairahan mereka memperlancar semangat guru untuk mengajar,
b.    murid ikut mengambil tanggungjawab yang lebih besar atas belajar sebagai hasil dari pengelolaan kelas yang lebih baik dan lebih banyak waktu bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa,
c.    penggunaan buku yang diperdagangkan dan pengalaman penulis yang bermakna adalah lebih memberikan motivasi pada diri guru dan siswa,
d.    guru akan lebih banyak belajar tentang lierasi dan proses bahasa anak-anak melalui pemanfaatan mereka di dalam pembelajaran sehari-hari,
e.    kegairahan, semangat dan minat guru akan membuat guru memperoleh inspirasi dan pembaharuan pada penutupan pembelajaran setiap harinya, dan (6) umpan balik yang positif dari orang tua, anak, teman sejawat, dan tatausaha akan menjadi bonus tambahan bagi guru.
                 Pandangan whole language tentang kurikulum menjelaskan bahwa karena bahasa paling mudah dipelajari jika disajikan secara utuh dan dalam konteks yang alamiah, maka keterpaduan merupakan prinsip kunci untuk perkembangan bahasa dan belajar melalui bahasa. Dalam praktiknya perkembangan bahasa dan bidang studi merupakan dua pihak yang terpisah. Dalam hal ini Goodman dalam Akhadiah melihat bahwa guru harus melakukan tugas ganda. Mereka harus mengoptimalkan kesempatan siswa untuk menggunakan bentuk bahasa yang wajar pada waktu belajar IPA, IPS, Matematika, dan Sastra. Guru sekaligus menilai perkembangan bahasa dan perkembangan kognitrif. Kegiatan berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berbicara dalam konteks penjelajahan benda, peristiwa, gagasan, da pengalaman.
Untuk menerapkan pembelajaran terpadu, guru-guru yang berpandangan whole language kerap kali menciptakan unit tematik yang mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat (Akhadiah, 1994:14). Weaver (1990) menyatakan prinsip dan praktik whole language beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    whole language adalah suatu pandangan yang berakar pada kenvergensi antara berbagai disiplin yang mencakup psikologi kognitif dan teori belajar, psikolinguistik dan sosiolinguistik, antropologi dan filsafat, serta pendidikan. Whole language merupakan pandangan tentang anak dan cara mereka belajar,
b.    pandangan whole language didasarkan atas observasi bahwa anak-anak berkembang dan belajar dengan lebih mudah bila mereka aktif mengikuti purse proses belajar sendiri. Mereka akan lebih mudah menguasai berbagai konsep dan strategi serta konsep yang kompleks dalam menulis dan membaca, misalnya, bila mereka terlibat secara nyata dalam kegiatan membaca dan menulis teks yang sebenarnya betapapun singkatnya,
c.    untuk memacu membaca dan menulis permulaan emergent reading and writing, whole language mencoba mencontoh strategi para orang tua yang dengan berhasil mendorong pemerolehan bahasa dan kemampuan baca tulissecara alamiah,
d.    berdasarkan pengetahuan bahwa kemampuan baca tulis paling baik dikembangkan melalui penggunaan secara fungsional, maka pengalaman membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan diarahkan pada kegiatan bahasa nyata,
e.    belajar dipacu melalui interaksi social. Diskusi, saling berbagi gagasan, kerjasama dalam memecahkan maslah dan melaksanakan tugas meningkatkan proses belajar,
f.    siswa dipandang cakap dan sedang berkembang,
g.    mendorong tumbuhnya sikap demokratis yang menerapkan teknologi tinggi, pemikir dan pelaku mandiri, kritis, dan mampu mengolah informasi (Weaver, 1990:22-26).
Wilson menyatakan bahwa mempelajari bahasa lebih mudah apabila dipelajari secara utuh dan dalam konteks lingkungan. Integrasi merupakan kunci untuk pengembangan bahasa dan belajar melalui bahasa. Perluasan kurikulum berdasarkan atas pengetahuan lingkungan anak sendiri dan menggunakan bahasa dalam konteks yang bermakna (Wilson, 1994:1,7). Dalam pembelajaran bahasa di sekolah, guru tidak perlu memberikan tema-tema yang spesifik karena anak-anak belajar bahasa seperti mencari teman belajar tentang lingkungannya dan lingkungan keluarga sendiri.
Routman menyatakan bahwa keterpaduan sudah terkandung dalam pembelajaran whole language (Routman, 1991:276). Keterpaduan bahasa adalah suatu pendekatan belajar dan cara berpikir yang menghargai keterhubungan dari proses bahasa itu seperti membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan sebagai keterpaduan pembelajaran yang berarti dalam segala bidang studi. Keterpaduan merupana pendekatan dalam belajar dan cara berpikir yang memandang proses berbahasa sebagai bagian integral dalam belajar di bidang apapun. Ini berarti bahwa khususnya di SD bahasa tidak dipelajari sebagai mata pelajaran seperti sains, misalnya, melainkan terpadu dalam penggunaannya untuk mempelajari apapun. Aspek-aspek keterampilan berbahasa dikembangkan secara langsung melalui kegiatan belajar dalam semua bidang. Agar dapat terjadi keterpaduan dalam pembelajaran dapat menggunakan unit tematik. Hal ini menjadi sarana keterpaduan di samping memberikan makna bagi anak.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, dari semua tema itu diturunkan gagasan atau pengertian yang harus dipelajari anak melalui kegiatan belajar dalam berbagai biodang studi. Dinyatakan pula bahwa suatu unit tematik dapat merupakan unit terpadu hanya jika tema itu bermakna, relevan dengan kurikulum dan kehidupan anak, sejalan dengan prinsip bahasa holistic, dan autentik dalam hubungannya dengan proses keterampilan berbahasa. Dalam hal ini, keterpaduan tidak harus selalu merupakan keterpaduan antar bidang studi. Keterpaduan antar bidang studi hanya dilakukan bila keterpaduan itu memperkaya dan memperluas proses belajar anak.
Dengan demikian, secara kasar keterpaduan dapat dibedakan sebagai keterpaduan intra bidang studi dan keterpaduan antar bidang studi. Dalam keterpaduan intra bidang studi, misalnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia, setelah tema ditentukan, kemudian dikembangkan aspek keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Sedangkan keterpaduan antar bidang studi, anak-anak belajar menggunakan aspek-aspek keterampilan bahasa melalui kegiatan belajar dalam berbagai bidang studi. Mereka belajar menggunakan bahasa untuk berbagai keperluan, seperti untuk mencari atau memberikan informasi, mengungkapkan perasaan atau tanggapan, mengaanalisis, serta memecahkan permasalahan.
Table of contents

0Comments

Special Ads6
Form
Link copied successfully